Kamis, 16 April 2020

fikih sholat

A.  Pengertian Sholat

Sholat  secara bahasa bermakna Do’a atau rahmat, ketika seseorang melakukan sholat berarti dia sedang berdoa, karena memang apa yang ada dalam bacaan sholat semuanya merupakan sebuah doa. Sedangkan secara istilah syariah merupakan ibadah atau ucapan-ucapan dan perbuatan tertentu khusus yang diawali dengan takbir (takbirotul ikhrom) dan diakhiri dengan salam.

Sholat dalam arti doa dapat ditemukan dalam QS. At-Taubah 103 yaitu:

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Sedangkan sholat dalam arti rahmat terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 43 yaitu:

هُوَ ٱلَّذِى يُصَلِّى عَلَيْكُمْ وَمَلَٰٓئِكَتُهُۥ لِيُخْرِجَكُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ ۚ وَكَانَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

Artinya: Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.

Dijelaskan dalam tafsirnya dia lah yang telah memberi rahmat kepada kalian, memuji kalian. Dan para Malaikat-Nya berdoa agar Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kekafiran menuju cahaya keimanan, dan Dia Maha Penyayang terhadap kaum mukminin dengan tidak menyiksa mereka apabila mereka menaati-Nya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

B.  Hukum dan Sejarah disyariatkannya sholat

1.    Hukum sholat

Sholat dalam agama islam mempunyai arti penting dan kedudukannya sangat istimewa, sholat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang dimulai dari masa baligh sampai akhir hayat.[5] Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

”Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa ayat103).

Dalam firman Allah dalam ayat lain:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu”. (QS. Al-Baqarah ayat 238).  

 Sabda nabi Sholallohualahi wasalam bahwa “islam itu didirikan dalam lima tiang, yaitu bersaksi bahwa tiada illah yang wajib disembah dan diibadahi selain Allah Subhanahu wata’ala, dan nabi Muhammad adalah utusan Allah,mendirikan sholat, membayar zakat, menunaikan ibadah haji kebaitullah serta berpuasa dibulan Ramadhan.”(HR.Bukhori dan muslim).

2.      Sejarah disyariatkannya sholat

Nabi Adam adalah Nabi yang pertama mengerjakan sholat yaitu sholat subuh, pada saat Ia pertama kali diturunkan dari surga ke dunia, pada saat bumi dalam keadaan gelap gulita, saat waktu subuh tiba Nabi Adam melaksanakan sholat dua rakaat sebagai tanda rasa syukurnya kepada Allah Subhanahu wata’ala karena telah terbebas dari kegelapan malam dan beralih ke cahaya matahari yang disebut dengan siang hari sebagai pengganti malam. Kemudian Nabi Ibrahim adalah Nabi yang pertama yang mengerjakan shalat Dzuhur. Beliau melakukan shalat sebanyak empat rakaat setelah beliau mendapat wahyu dari Allah untuk menyembelih puteranya, Nabi Isma’il yang diganti dengan seekor domba kurban. Sebagai rasa Syukur, Nabi Ibrahim shalat empat rakaat pada saat matahari sudah tepat di atas ubun-ubun kepala.

Nabi Yunus adalah Nabi pertama yang mengerjakan shalat ‘Asar. Beliau melaksanakan shalat empat rakaat sesaat setelah keluar dari perut ikan paus. Shalat ini sebagai rasa syukurnya kepada Allah karena telah terbebas dari dalam perut ikan paus Nabi Yunus mendirikan shalat ini ketika waktu sudah memasuki waktu shalat ‘Asar.

Nabi Isa adalah Nabi pertama yang mengerjakan shalat Magrib. Beliau melaksanakan shalat tiga rakaat pada saat matahari sudah terbenam. Nabi Isa melakukan shalat ini sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Allah karena sudah diselamatkan dari kejahilan kaumnya.

Nabi Musa adalah Nabi pertama yang mengerjakan shalat Isya’. Ketika dalam perjalanan dari Madyan menuju Mesir, Nabi Musa bersama istrinya, Shafura, takut tentara Fir’aun akan menemukannya dan menyerahkannya pada Fir’aun yang zalim. Kegundahan Nabi Musa akhirnya didengar Allah. Seketika Allah menghilangkan rasa gundah itu dari hati Nabi Musa. Sebagai rasa syukur, Nabi Musa mendirikan shalat empat rakaat pada saat malam hari.

 Ibnu Hajar berkata, sebelum peristiwa Isra’ mi’raj terjadi, Rosululloh Sholallohualaihi Wasalam pernah melaksanakan sholat, berdasarkan riwayat yang Qaht’ (pasti) Akan tetapi yang di perselisihkan adalah apakah ada sholat lain yang diwajibkan, sebelum diwajibkannya sholat lima waktu.

Al-Harits bin Usamah meriwayatkan secara mausul (tersambung sanadnya)  dari Zaid bin Haritsah bahwa pada awal diturunkannya wahyu, Rosululloh Sholallohualaihi Wasalam didatangi oleh malaikat Jibril, kemudian mengajarkanNya berwudhu. Ibnu Abbas sendiri mengatakan hal itu merupakan keawiban pertama, kemudian ketika telah masuk waktu sholat Rosulullloh dan para sahabat pergi ke lereng-lereng dan melaksanakan sholat disana secara sembunyi-sembunyi.


Cecep Nurhadi

Bekasi, 16 April 2020



[1] Sentot  Haryanto, Psikolog sholat, yogyakarta: Mitra Pustaka 2007,  hlm 91

[2] Endang Switri, M.Pd.I, et. Al., pembinaan Ibadah Sholat, Pasuruan Jawa Timur,Qiara Media, 2020, hlm 1

[5] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, Cipayung Jakarta Timur, Ummul Qura, 2018, hlm. 6

[6] Imam an-Nawawi, Matan Hadits Arba’in, Jakarta, Pustaka Ibnu Umar, halm. 13

[8] Syaikh Syafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Rohiq al-Makhtum, Jakarta, 2001, hlm. 95

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda