Minggu, 13 September 2020

Bid’ah

Bid’ah

   Pengertian Bid’ah

Kata bid’ah berasal dari kata Al-bad’u yaitu hal baru yang sama sekali tidak ada contoh sebelumnya. Menurut bahasa bid’ah merupakan perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang telah di tetapkan, termasuk menambah dan mengurangi ketetapan. Hal ini sebagaimana dalam Al-Qur’an (QS. Ai-Baqarah ayat 117)

 Allah Pencipta langit dan bumi,

Artinya Allah menciptakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya.....

Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul. (Al-Ahqaf ayat 9).

Artinya, aku bukanlah orang pertama datang membawa risalah/tauhid dari Allah untuk para hamba, sudah banyak Rasul sebelumku.

Menurut Imam Asy-syatibi, bid’ah adalah bentuk ibadah atau perilaku yang menyerupai ajaran agama islam namun tidak sesuai dengan syariat atau tidak terdapat dalilnya secara tepat.

Inilah yang disebut perbuatan bid’ah dan inilah arti bid’ah itu sendiri, jadi orang yang mengerjakan nya disebut mubtadi (orang yang melakukan bid’ah).

Oleh karena itu, bid’ah adalah sebuah istilah tentang tata cara dalam agama yang sengaja dibuat dan menyerupai syariat, dengan tujuan mengekspresikan dalam bentuk tingkah laku yang bersandar kepadanya secara berlebihan, tentunya dalam beribadah kepada Allah, pendapat ini berdasarkan pendapat orang yang tidak memasukan adat kebiasaan kedalam kategori bid’ah dan hanya membatasi pada permasalahan ibadah.

Adapun pengertian lain dari bid’ah yaitu mengada-ngada bentuk ibadah atau syariat agama. Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :

1.     Perbuatan bid’ah dalam  urusan dunia seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang Ini adalah mubah (diperbolehkan),  karena asal hukum dalam urusan dunia adalah boleh (mubah).

2.    Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (agama Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda  “Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari bagiannya (Al-Qur’an dan Summah),  maka perbuatannya di tolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dan di dalam riwayat lain disebutkan  “Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan perintah kami, maka perbuatannya di tolak” (HR. Muslim).

B.   Macam-Macam Bid’ah

Bidah dalam agama ada dua macam:

Pertama, bid’ah dalam ucapan dan kenyakinan. Seperti ucapandan kenyakinan kelompok  jahmiyah,  mu’tajilah dan kelompok-kelompok sesat lainnya. Kedua, bid’ah dalam hal ibadah. Seperti ibadah seorang hamba kepada Allah dengan jenis ibadadah yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah subhanahuwata’ala. Diantaranya:

a.     Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti maulid Nabi, pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya yang sama sekali tidak ada syariatnya.

b.    Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.

c.     Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

d.    Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.

C.   Macam-Macam Bid’ah Dilihat Dari Hukumnya

1.     Bid’ah yang dapat mengkafirkan

Bid’ah ini dapat mengeluarkan pelakunya dari islam, misalnya bid’ah kaum syi’ah Rafidhoh dan  pernyataann satu kaum tentang Al-Quran adalah makhluk.

2.     Bid’ah yang dapat menjadikan pelakunya menjadi orang fasik

Yaitu pelakunya ini berbuat dosa, akan tetapi tidak menjadikan dia keluar dari islam misalnya bid’ah dzikir jama’I mengkhususkan malam nisfu’ sya’ban.

Artinya bahwa bid’ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram. Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo’a disisinya. Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).

D.   Hukum Bid’ah Dalam Agama

Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat“. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

 مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak“. Dan dalam riwayat lain disebutkan :

 مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak“.  Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan tertolak.

Artinya bahwa bid’ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram. Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo’a disisinya. Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).

Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek) adalah salah, keliru, dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat.

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya “Syarh Arba’in” mengenai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah adalah sesat”, merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : “Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak“.

Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin. Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid’ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu pada shalat Tarawih : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, juga mereka berkata : “Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya”. Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari’at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa dan bukan bid’ah menurut syariat.

Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah” maksudnya adalah bid’ah menurut arti bahasa bukan menurut syari’at, karena bid’ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya. Dan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur’an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya. Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama’ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan mereka satu jama’ah di belakang satu imam.

Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan bid’ah dalam Ad-Dien. Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur’an. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur’an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Allah Ta’ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.


Cecep Nurhadi
Gununghalu, 13 September 2020


[1] DR. Shalih Bin Fauzan Al-Fauzan, Aqidatut Tauhid, terj, Syahirul Alim, Solo, Ummul Qura, 2012, hlm. 396

[2]  Bid’ah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.go.id

[3] Imam asy-syatibi, al-I’tisham, (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah), trjm. Shalahuddin sabki, dl. Jakarta, pustaka azzam, 2006 hlm. 3

[4] Imam asy-syatibi, al-I’tisham, (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah)  trjm. Shalahuddin sabki, dl, jakarta, pustaka azzam, 2006 hlm. 3

[5] DR. Shalih Bin Fauzan Al-Fauzan, Aqidatut Tauhid, terj, Syahirul Alim, Solo, Ummul Qura, 2012, hlm. 397

[6] Syaikh Abdullah bin Ahmad Al huwail, kitab At-tauhid Al-muyassar, terj, ust. Marwan hadidi bin musa, M.Pdi, makassar 1440 h, halm. 72

[7] Syaikh Abdullah bin Ahmad Al huwail, kitab At-tauhid Al-muyassar, terj, ust. Marwan hadidi bin musa, M.Pdi, makassar 1440 h, halm. 73

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda